Surat cinta W.S Rendra

Dramawan, cerpenis dan penyair besar Indonesia WS Rendra telah kembali ke pangkuan Sang Maha Hidup dalam usia 74 tahun, pada Kamis malam (6/8). Kepergian budayawan kenamaan untuk selama-lamanya itu, merupakan suatu kehilangan besar bagi kalangan budayawan tanah air. Sebagai “aset nasional”, Rendra yang mendapat julukan “Burung Merak” itu, namanya kondang baik di dalam dan manca negara. Beberapa penghargaan bergengsi atas dedikasinya berkiprah di jalur seni itu telah ia genggam.

Sebagai salah seorang penggemarnya, saya beruntung pernah menyaksikan penampilan memukau WS Rendra membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki (TIM) beberapa tahun menjelang kejatuhan rezim Orde Baru.

Masih terbayang, dengan berbusana serba hitam WS Rendra membacakan puisi-puisi bernada protes dalam penampilan tunggal tersebut. Untuk situasi politik masa itu, ia termasuk penyair yang berani. Dengan vokal suara bariton dan agak serak-serak, ia lantang dan keras menyuarakan protes. Seakan-akan nalurinya sebagai seniman itu, ia telah mencium gelagat tidak beres dari penguasa masa itu.

Bahkan bukan pada saat penampilan di TIM malam itu saja ia mengekspresikan “tanda-tanda jaman”. Tahun-tahun sebelumnya, penampilan-penampilan panggung Rendra di muka publik, baik itu pementasan drama maupun pembacaan puisi telah ia kirimkan “sinyal-sinyal” ketidakberesan negeri kepada sang penguasa. Karenanya, pernah saya baca di media massa izin-izin pementasan Rendra dipersulit pihak aparat keamanan. Bahkan dilarang.

Malam itu Rendra dengan cukup santai membacakan beberapa puisi karyanya. Mulai dari “Blues untuk Bonnie”, “Sajak Seonggok Jagung”, “Sajak Sebatang Lisong” dan lain-lain.

Menurut saya, gaya dia membacakan puisi dengan menggerakkan dan meliuk-liukkan anggota tubuh itu, memang laksana burung merak yang tengah mengepak-ngepakkan sayapnya. Mungkin saja gaya Rendra inilah yang melambungkan sebuah julukan khas dan melekat pada dirinya: Penyair Si Burung Merak.

Lantaran kedinamisan Rendra di atas panggung ini, sesekali istrinya Ken Zuraida yang setia berdiri di bibir panggung, naik untuk membetulkan perlengkapan mikropon wireless yang menempel di pinggang Rendra.

***

Secara pribadi, di awal-awal dekade 1990-an, penyair besar tersebut “turut andil” mensukseskan sebuah pdkt atau pendekatan saya pada seorang gadis. Sajak Rendra “Surat Cinta” , saya “modifikasi” tertentu seolah-olah itu tulisan tangan sendiri (agak lucu kan kalau kita menulis surat cinta pakai daftar pustaka segala). Selain Rendra, penyair yang sajak-sajaknya kerap saya kutip dalam sepucuk surat pribadi itu antara lain: Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Kahlil Gibran, Jalaluddin Rumi dan Rabiah al-Adawiyah.

Menurut penuturan salah seorang teman indekostnya saat mahasiswa dulu, bila surat cinta itu saya kirim (baik melalui perantaraan teman atau pos) dan telah dibacanya, maka semalaman si pacar itu tidak bisa tidur. Ketika suatu waktu soal itu saya singgung dan tanyakan, si mantan pacar yang kini menjadi ibu dari ketiga anakku itu tegas-tegas menyangkalnya, seraya mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

***

Dalam konteks sajak “Surat Cinta” Rendra itu, sejatinya yang saya perlukan hanya mengganti kata “dik Narti “ menjadi “dik Indra” (mantan pacar yang kini jadi istri). Di samping itu, tentu saja saya tidak mengutip mentah-mentah apa yang telah tersurat dari sajak tersebut. Ada modifikasi kalimat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi tatkala surat itu dibuat.

Perhatikan beberapa bait kutipan sajak ini. Dan jika pembaca adalah seorang perempuan muda yang tengah dimabuk kepayang, resapi kedahsyatan sajak ini. Beberapa petikan sajak “Surat Cinta” WS Rendra itu sebagai berikut:

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !

Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan

Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikimpoikan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain…
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa


Selamat Jalan Bung. Menghadaplah engkau kepada Sang Maha Penyair dengan seulas senyum. Kepakkan sayap-sayap burung merakmu itu pada-Nya dengan kegembiraan yang meluap-luap. Dalam buaian dan haribaan-Nya, semoga engkau beristirahat panjang dengan tenang.

1 komentar:

  Ley Hay

19 Mei 2011 pukul 01.25

puisi nya....peuh makna mendlam....terlihta jelas dlam kata kata2aya