Pancasila

saya heran sekali dengan orang² sekarang,ngakunya orang indonesia,tapi di tanya sila ke satu sampai lima pancasila dia tidak tahu,apalagi lagunya,maka dari itu saya pribadi prihatin dengan keadaan masyarakat kita saat ini.

pancasila
1.ketuhanan yang maha esa
2.kemanusiaan yang adil dan beradab
3.persatuan indonesia
4.kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia

dan ada juga lirik lagunya pancasila yang berjudul garuda pancasila

garuda pancasila

garuda pancasila
akulah pendukungmu
patriot proklamasi
sedia berkorban untukmu
pancasila dasar negara
rakyat adil makmur sentosa
pribadi bangsaku
ayo maju...maju...
ayo maju...maju...
ayo maju...maju...

semoga postinganku kali ini bermanfaat buat kita semua,khususnya masyarakat indonesia saat ini,jangan hanya lagunya dewa atau peterpan aja yang di hapalin.

surabaya oh surabaya,....

hemmm,..lagu ini susah juga di cari di google,dan bahkan banyak yang gak tau,maka dari itu aku potingkan lagu ini buat kalian dan yang suka menjaga tradisi dan budaya kota surabaya.



surabaya oh surabaya

surabaya,surabaya oh surabaya
kota kenangan kota kenangan takkan terlupa
di sanalah di sanalah di surabaya
kita bersama kita bersama saling berjumpa

reff :

ku teringat...masa yang...telah lalu...
sribu insan...sribu hati...berpadu satu...
surabaya...di tahun empat lima(45)...
kami berjuang...kami berjuang...bertaruh nyawa...

semoga kebudayaan kita di surabaya tetap terjaga dengan baik tanpa ada yg hilang sedikitpun

Kumpulan lagu² jawa

Rek ayo rek..

Rek ayo rek mlaku mlaku nang tunjungan
Rek ayo rek rame rame bebarengan
cak ayo cak sopo gelem melu aku
cak ayo cak dolek kenalan cah ayu

reff:

ngalor ngidul liwat toko ngumbah moto
masio mung senggal senggol ati lego
sopo ngerti nasib awak lagi mujur
kenal anak e sing dodol rujak cingur
jok dipikir angger podo gelem mlaku
jok dipikir angger podho gak duwe sangu
mangan tahu jok di campur nganggo timun
malam minggu jok podho di gawe nglamun

back to reff:

hehehehehe..
ok sekarang saya jelasin arti dari lagu itu sendiri ke dalam bahasa indonesianya,"rek ayo rek" itu artinya sama dengan kata mengajak teman2 kita,bisa laki bisa perempuan,"mlaku mlaku nang tunjungan"sama artinya dengan jalan jalan ke tunjungan(nama jalan di kota surabaya jalan tunjungan),"rame rame bebarengan" dalam arti jalan2 beramai ramai bareng bareng(berkelompok)"cak ayo cak sopo gelem melu aku"yg artinya mengajak teman dengan bahasa yg sopan(cak)untuk mengajak jalan jalan"dolek kenalan cah ayu"mencari kenalan cewek cantik.

"ngalor ngidul liwat toko ngumbah moto"dalam arti keliling yah ke utara ke selatan sambil cuci mata"masio mung senggal senggol ati lego"meskipun cuma senggal senggol yg penting hati tuh merasa puas(puas dalam arti bahagia)"sopo ngerti nasib awak lagi mujur"siapa tau nasib kita lagi mujur"kenal anak e sing dodol rujak cingur"kenal sama anaknya orang yg jualan rujak cingur.

"jok dipikir angger podho gelem mlaku"artinya jangan pernah dipikirkan hanya cuma mau jalan,"jok dipikir angger podho gak duwe sangu"artinya nggak usah dipikirin kita gak punya uang "mangan tahu jok di campur nganggo timun"yg artinya makan tahu itu jangan di campur sama ketimun,"malam minggu jok podho digawe ngelamun"artinya malam minggu jangan cuma di buat melamun.
hemmmm,..mungkin kurang lengkap atau kurang bumbu,ntar saya lengkapi lagi kalo memang ada yg kurang.

Semanggi suroboyo

semanggi suroboyo
lontong balap wonokromo
di makan enak sekali
sayur semanggi krupuk puli bung beli

semanggi Suroboyo
lontong balap Wonokromo
dijual serta didukung
masuk kampung, keluar kampung
mari bung coba beli
........
harganya murah sekali
sepincuk hanya setali
sungguh memuaskan hati,
sayur smanggi
kangkung turi...
bung beli...

sedap benar bumbunya
dan enak rasanya
sayur smanggi
kangkung turi...
bung beli...

lirik lagu lainnya.

Suwe ora jamu

Suwe ora jamu
Jamu godhong tela
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan gawe gela
Suwe ora jamu
Jamu godhong tela
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan gawe gela


gundul pacul


Gundul gundul pacul cul gelelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul gembelengan

Wakul ngglimpang segane dadi dak ratan
Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan

Pencipta / Pengarang Lagu dan Lirik : R.C. Hardjosubroto


Gambang suling

Gambang suling ngumandang swarane
Tulat tulit kepenak unine
Unine mung nrenyuh ake
Barengan lan kentrung ketipung suling
Sigrak kendangane

Karangan / Ciptaan : Ki Narto Sabdo

lir ilir

Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh panganten anyar
Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira
Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir
Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Sun surak`a surak hiyo(horeeeeeee...!!)

sebenarnya sih masih banyak lagi yg mau di postingin,tapi untuk sementara ini aja dech dulu yang di postingin...

Cinta adalah kesunyian..

Bertahun-tahun kemudian, berpuluh tahun kemudian, seorang pengembara tua berjumpa dengan seorang gadis belia.
Di senja yang gerimis itu angin berembus perlahan. Genangan air bekas hujan terserak basah. Ada bangku tembok di bawah rerimbunan pohon bunga bougenville, mereka duduk berdampingan. Daun-daun bougenville bergetar perlahan disentuh angin senja, bergoyang lembut, seakan-akan sedang menari.
”Ceritakanlah padaku tentang cinta.”
”Cinta?”
”Ya. Ceritakanlah padaku tentang kesetiaan.”
”Kesetiaan?”
”Ya. Ceritakanlah padaku tentang sebuah kenangan.”
Dan pengembara tua itu pun mulai bercerita…

* * *
Pada suatu malam yang sepi, di suatu masa, seorang petualang terjerembab di sebuah gedung kayu yang sunyi, seperti seekor kelelawar yang patah sayapnya. Hanya ada bekas-bekas kehidupan di situ. Di luar, suara binatang malam sesekali terdengar bagaikan sebuah simfoni. Ia terbaring sendirian. Letih, usai bertahun-tahun bertarung melawan dirinya sendiri. Bajunya tampak lusuh, begitu pun dengan celana jins-nya. Tampaknya sudah lama tak tersentuh air.
Asap rokok melayang-layang dari sela-sela jemarinya yang kurus. Lirih terdengar sebuah lagu di kejauhan. Where do I begin to tell the story of how great the love can be… Suara Nana Mouskouri yang sendu.
Setiap kali lelaki itu merokok, ia terkenang pada sebuah dongeng masa kecil. Kisah seorang gadis kecil penjual korek api. Tak seorang pun rela membeli korek apinya di malam Natal yang sendiri itu. Larut malam dalam lapar dan dingin ia nyalakan korek apinya satu per satu demi sedikit kehangatan.
Setiap kali ia menyalakan sebatang korek api, dialaminya mimpi yang indah: tentang ibunya tercinta yang telah lama pergi, tentang boneka–boneka kecil yang bisa bernyanyi, tentang peri-peri kecil yang lucu, tentang pohon Natal yang terang benderang… Setelah korek api terakhir habis disulut, ia pun mati kedinginan. Meringkuk beku. Sendirian. Petualang itu menikmati mimpi yang sama lewat asap rokoknya. Bermimpi adalah keasyikan hidupnya, sejak bertahun-tahun silam.
Petualang itu kini sedang hanyut menikmati lamunannya… Malam makin kelam. Di langit, rembulan tertutup awan. Nyanyian burung malam bergema di kejauhan.
Petualang yang sendiri itu memandang bara berasap di ujung sigaretnya. Tiba-tiba seraut wajah dari masa silam menyusup dalam bayang-bayang baur. Seraut wajah ayu yang pernah begitu lekat dalam hidupnya.
”Apa yang kau cari? Tak lelahkah kau bertualang?”
Sepasang mata bening menatap penuh kasih. Ada kehangatan di sana.
”Hai, kaukah itu? Bianglala Biru-ku? Bidadari kecilku?”
Secercah cahaya terbit sekejap dalam sepasang bola cokelat yang tadi redup.
”Tahukah kau, bertahun-tahun aku menantikan saat seperti ini. Pertemuan berdua saja denganmu. Dan kita bisa bercakap-cakap dari hati ke hati. Tentang kau. Tentang aku. Tentang kita. Tentang masa lalu. Aku tak terlalu serakah untuk mengajakmu berbicara tentang masa depan. Masa depanmu adalah milikmu. Mencintai dan memiliki adalah dua hal yang berbeda, dari akar yang berbeda pula. Kalau aku tak boleh mendapatkan keduanya, biarlah aku memilih yang pertama…”
Bibir indah itu tersenyum lembut. Jemarinya yang halus membelai wajah lelah itu perlahan-lahan. Dia telah menjadi seorang lelaki sekarang.
”Berhentilah bermimpi. Kau tahu, hidup tak akan surut ke belakang. Ia terus mengalir mengarungi kemungkinan-kemungkinan.”
Suara burung malam terdengar menyayat hati.
”Ah… tahukah kau, bertahun-tahun aku masih menyimpan gambarmu, gambar kita. Tak seorang pun kubiarkan menyentuhnya.”
Seekor tikus menyelinap cepat-cepat ke sebuah sudut.
”Aku tak akan pernah lupa saat pertama kita jumpa. Aku duduk di bangku kayu, kau duduk di bangku sebelahku. Mata kita bersitatap. Aku takjub dan kau tersenyum. Ada ibu guru di depan kita.”
”Itu sudah tujuh belas tahun berlalu. Waktu itu membaca aksara saja kita belum lancar, apalagi membaca hidup.”
”Masih ingatkah kau saat kita menunggu hujan di depan gerbang sekolah? Percakapan mata, gerimis yang tak mau reda, hanya ada kita berdua. Menunggu ibu masing-masing membawa kita pulang.”
Bibir indah itu tersenyum lagi.
”Tapi kenyataan membuat kita terpisah. Mereka membawaku jauh ke Timur. Dan aku hanya menjumpaimu dalam mimpi-mimpi malam, bertahun-tahun yang melelahkan. Suatu hari aku datang kembali ke kotamu dengan sekujur tubuh terluka. Sampai tiba malam itu. Kau datang padaku dalam selubung putih bertudung renda. Wajahmu begitu indah. Kita hanya berpandangan tanpa kata. Kucoba merenangi bola matamu, tapi tak ada jawab di sana. Tiba-tiba kau lenyap. Hilang. Aku terjaga di malam buta dengan dada sesak dan sekujur tubuh berpeluh. Esoknya seorang kawan memberi kabar tentang hari pastimu. Aku terlambat, kau tak lagi sendiri…”
Sepasang mata memandang sayu. Ada bening kaca di situ.
”Maafkan aku. Hidup tak pernah bisa direncanakan. Hidup sering kali begitu tiba-tiba. Lama tak kudengar kabarmu, lenyap bagai ditelan bumi…”
Asap rokok itu masih menari-nari.
”Tak perlu menyesali yang telah terjadi. Hidup bukan untuk dikalkulasi. Hidup ini buat dijalani… Ah, cepat sekali waktu berlalu, dan hidup terus mengalir seperti sungai tanpa kita tahu di mana akan bermuara. Terkadang sungai itu begitu luas dan tenang seperti Amazon. Tapi ada kalanya berliku-liku bagai sebuah meander. Tanpa kita sadari yang tertinggal hanyalah sedimen di dasar sungai. Atau malah tak menyisakan apa-apa. Bahkan sekedar kenangan pun. Kita memang tak mungkin mendapatkan semua yang kita inginkan dari kehidupan, bukan? Jadi, jika kita tak memiliki apa yang kita sukai, apa salahnya menyukai apa yang kita miliki?”
Nyanyian burung malam memecah kesunyian.
”Sejak itu, bertahun-tahun kucoba mengarungi kemungkinan-kemungkinan. Aku bertualang ke pulau-pulau sepi, bermain-main dengan mawar berduri. Beberapa kupetik dan coba kubawa pulang. Tapi pada akhirnya aku selalu gagal. Aku terlalu naif untuk sebuah dunia yang penuh kebohongan. Hanya kau yang membuatku damai. Kini aku sendirian. Sebatang ilalang liar di tengah padang gersang…”
Sepasang mata bening di raut ayu itu meneteskan butir-butir kristal.
”Berhentilah bermimpi. Berhentilah bertualang. Cobalah hidupi hidup seperti mereka yang lain…”
Petualang itu hanya tertawa. Bukan tawa bahagia, tapi tawa menahan luka. Dengan suara parau ia mengeja sebait sajak seorang penyair jalang: hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu ada yang tetap tak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah… Sigaret di tangannya berhenti berasap. Perlahan-lahan bayang-bayang memudar. Lenyap bersama angin malam.

* * *
Senja telah lama merapuh, berganti dingin malam. Di puncak pepohonan, rembulan hampir purnama. Sisa hujan telah lama berhenti menitik.
Di bawah rerimbunan bunga bougenville, pengembara tua berhenti bercerita. Matanya menyimpan sebuah rahasia. Dengan hati-hati diambilnya sebuah biola yang sedari tadi tergeletak di sampingnya. Ia mulai memainkan sebuah komposisi. Sebuah sonata yang sedih, mengalun, mengiris, menggoda kesunyian malam.
”Sudah selesai ceritanya, Kek?” tanya gadis belia yang tekun mendengarkan kisahnya sejak tadi.
Pengembara tua itu tak menjawab. Kilau matanya seakan-akan menyimpan sebuah rahasia. Ia terhanyut dalam sebuah sonata yang sedih. Mengalun, mengiris, menggoda kesunyian malam…

-Cerpen Anton Kurnia-

Chairil Anwar: Poet of a Generation

Photobucket
Chairil Anwar: every Indonesian schoolchild knows his name. For this poet was one of the famed figures of the “1945 Generation,” that group of luminaries who brought heat and light to Indonesian literature in the formative years of the new nation.

Through his poetry, Chairil Anwar succeeded in infusing Indonesian verse with a new spirit and bringing a new enthusiasm to Indonesia’s cultural arena. He also provided friends and acquaintances with never-ending tales to tell of his personal eccentricities, including his hobby of stealing books from the shops, his tendency to plagiarize from foreign poets, his many lovers, his numerous ailments, and his bohemian lifestyle.

Born on July 22, 1922 in Medan, North Sumara, Chairil attended the Hollands Inlandsche School (HIS), a Dutch elementary school for “natives.” He then continued his education at the Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, a Dutch junior high school, but he dropped out before graduating. At the age of nineteen, after the divorce of his parents, Chairil moved with his mother to Jakarta where he came in contact with the literary world. Despite his unfinished education, Chairil had an active command of English, Dutch and German, and he filled his hours by reading an international selection of authors, including Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff and Edgar du Perron. These writers became his references, directly influencing his own poetry and later helping him shift the gaze of Indonesian literature to fall upon Europe. This westward turn was one of the major differences between Chairil’s “1945 Generation” peers and the previous cohort of Indonesian writers, the “New Authors Generation” of the 1930s, who were more oriented toward traditional verse forms. Chairil’s poetry was not only topically fresh, it struggled with individual and existential issues, in contrast to the writers of the “New Authors Generation” who were more concerned with giving voice to nationalist enthusiasm.

Chairil began to gain recognition as a poet with the publication of “Nisan” (“Gravestone”) in 1942. At that time, he was only twenty years old. He had apparently been shocked by the death of his grandmother, which awakened him to the fact that death could at any moment tear one away from life. Most of the poems he wrote after this point referred, at least implicitly, to this awareness of death. All of his poems—the originals, the adaptations and those suspected of being plagiarisms—have been collected in three books: Deru Campur Debu (“Roar Mixed with Dust,” 1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (“Sharp Pebbles The Seized and the Severed,” 1949); and Tiga Menguak Takdir (“Three Tear Open Fate,” 1950, a collection of poems with Asrul Sani and Rivai Apin).

Chairil’s poetic vitality was never in balance with his physical condition, which grew weaker as a result of his chaotic lifestyle. Before he could turn twenty-seven, he had already contracted a number of illnesses. In the last days of his life, he wrote a poem that read thus:

The Seized and the Severed

the darkness and passing wind overtake me
and the room where the one I long for shivers
with night’s penetration; trees stand like dead memorials

but in Karet, yes, Karet Cemetery – my future locale – there, the wind howls, too

I put my room in order, and myself as well, in the chance that you might come
and I may once again unleash a new story for you;
but now it’s only my hands that move, emptily

my body is still and alone, as frozen stories and events pass by

On April 28, 1949, Chairil Anwar passed away at the CBZ Hospital (now R.S. Ciptomangunkusomo) in Jakarta. And indeed, he was buried at Karet Cemetery the next day. In memory of the words he left behind, April 28th is now celebrated as Literature Day in Indonesia.

POEMS OF CHAIRIL ANWAR

My Friend And I
For L.K. Bohang


We share the same path, late at night
with the fog, penetrating
and the rain, drenching our bodies.

Ships freeze in the harbor.

My blood curdles. My mind congeals.

Who is it that speaks?
My friend is but a skeleton
scourged of his strength.

He asks the time!

It is so late.
All meaning has sunk and drowned
and motion has no purpose.

(1943)

No, Woman!

No, woman! What lives in me
still easily evades your fevered and dark embrace,
intent on finding the greenness of another sea,
to be again on the ship where we first met,
surrendering the rudder to the wind,
our eyes fixed on waiting stars.
Something flapping its wings, again conveys
Tai Po and the secret of the Ambonese Sea.
Such is woman! A single vague line
is all I can write
in my flight towards her enigmatic smile.

(1945)


Announcement

To dictate is not my intent,
Fate is separate loneliness-es.
I choose you from among the rest, but
in a moment we are snared by loneliness once more.
There was a time I truly wanted you,
to be as children in crowning darkness,
and we kissed and fondled, not tiring.
I did not want to ever let you go.
Do not unite your life with mine,
for I cannot be with anyone for very long
I write now on a ship, in some nameless sea.

(1946)


Pines in the Distance

Pines scatter in the distance,
as day becomes night,
branches slap weakly at the window,
pushed by a sultry wind.

I’m now a person who can survive,
so long ago I left childhood behind,
though once there was something,
that now counts for nothing at all.

Life is but postponement of defeat,
a growing estrangement from youth’s unfettered love
a knowing there’s always something left unsaid,
before we finally acquiesce.

(1949)

Tinuk Yampolsky is Managing Editor of the Lontar Foundation, a non-profit organization devoted to
translating and promoting Indonesian literature overseas. All the poems of Chairil Anwar reprinted here were
translated by John H. McGlynn. All of them, with the exception of “The Seized and the Severed,” were first
published in similar version in Menagerie I by the Lontar Foundation in 1992.


by Tinuk Yampolsky

Kisah pohon apel

Kisah Pohon Apel


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.? Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.? Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.?

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.


"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.
"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.

Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih. Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.
"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.

Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu. Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya. Ini adalah cerita tentang kita semua.

NB : Pohon apel itu adalah gambaran kedua orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.

Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.?
?

asal-usul kata jayus

asal usul kata jayus

jayus...???
apaan sih artinya...???
kalo gak tau mending gak usah di pakai deh
masalahnya kalo sampai kalian dah tau apa itu jayuz
pasti deh kalian gak akan memakai kata2 itu lagi..

JAYUS part I

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Jayus adalah sebuah istilah slang dalam bahasa Indonesia digunakan untuk mengomentari lontaran yang dianggap tidak lucu. Kata ini mulai populer pada pertengahan 1990-an di sekolah-sekolah menengah swasta Jakarta. Umumnya dipercayai bahwa kata ini berasal dari nama seorang murid Kolese Gonzaga tempat istilah ini bermula, yaitu dari seorang bernama Jayusman yang terkenal dengan komentar-komentarnya yang dianggap aneh dan tidak lucu.

Berikut contoh penggunaan istilah Jayus: Jayus banget sih loe! "idih... jayus tahu..."

penasaran kan, gimana sih dunia jayus itu...

apa? nggak penasaran?

JAYUS part II

From: Nelvi Deswati
Subject: FW: Hati hati dalam berucap, APA SESUNGGUHNYA ARTI DARI "JAYUS" ?]


FYI- Ternyata kata-kata "JAYUS" yang selama ini sering diucapkan, artinya
"ORANG YANG MENCURI KAIN KAFAN DALAM KUBUR"

____________________________________________________

Assalamu'alaykum wr wb.


Soal penggunaan istilah "jayus" yg kmrn sempet ramai dibicarakan oleh
beberapa rekan disni -yg tak lain mau tak mau dapat dikatakan hanya sebagai
korban tren pergaulan-, saya kutip dari hadits Rosululloh SAW berikut ini :

Rosululloh saw bersabda :
"Ada 10 golongan dari umatku tidak masuk surga, kecuali mereka bertaubat.
Mereka itu adalah : Qala', JAYUS, Qattat, Dabub, Dayus, Shahibul Artabah,
Shahibul Khubah, 'Uthull, Zaniem dan Al 'Aq Liwalidaihi. Lalu para sahabat
bertanya apa arti yang 10 tersebut.

Rosululloh menjawab :
1. Qala', yaitu orang penjilat yang keluar-masuk rumah penguasa (pejabat
pemerintah).
2. JAYUS, ialah orang yang mencuri kain kafan dalam kubur.
3. Qattat, yaitu orang yang suka mengadu domba.
4. Dabub, yaitu orang yng mengelola perempuan-perempuan untuk pelacuran. 5.
Dayus, yaitu orang yang tidak cemburu terhadap istrinya.
6. Shahibul Arthabah, yaitu orang yang kerjanya memukul gendang.
7. Shahibul Khubah, yaitu orang yang kerjanya memukul genderang.
8. 'Uthul, ialah orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. 9.
Zaniem, adalah anak zina dan suka nongkrong dipinggir jalan dan menggunjing
orang yang lewat.
10. Al 'Aq Liwalidaihi, semua kita sudah memakluminya, yaitu orang yang
melawan kepada kedua ibu dan bapaknya."

Nah, gmn? Hari gini masih jadi korban buta pergaulan? Jangan pernah ngaku
gaul kalo cuman ikut-ikutan.
Ntar kecele sama kata-kata yang ngerti ga artinya, baru tau rasa.
Keciaaann...deh lo!

Yuk ah yuk...sebarin arti kata Jayus ini dimulai dari orang-orang terdekat
kita. Apa tega melihat mereka saling mengejek dengan pengertian orang yang
mencuri kain kafan dalam kubur?

Gaul? Oke. Funky? Boleh. Smarty? So pasti!!

Sumber : Ucapan Bijak Orang-orang Besar di Dunia (Mahyuddin
Ibrahim)

nah udah tau kan...
masih mau pakai kata jayus...???
hehehehehe...

Google kembali hadang situs Depkeu..

Photobucket

Jakarta - Google kembali menghalang-halangi akses situs departemen keuangan dari mesin pencarinya. Situs yang beralamat di www.depkeu.go.id ini lagi-lagi dicurigai disusupi program jahat.

Padahal tak beberapa lama berselang, hubungan keduanya sudah dilaporkan 'rujuk' yang ditandai dengan pencabutan tanda peringatan dari Google.

Namun ketika detikINET melakukan pengamatan pada Senin (16/6/2008), tanda peringatan dari Google tersebut kembali muncul ketika pengguna internet mencoba mencari situs Depkeu dari Google.

Menurut analisa 'Safe Browsing' Google, dari 118 halaman yang diuji pada server depkeu.go.id selama 90 hari terakhir terdapat dua halaman yang mengandung program jahat yang bisa menginfeksi komputer pengunjung secara diam-diam. Google melakukan pengujian tersebut pada 16 Juni 2008.

Dan sama seperti kejadian sebelumnya, program jahat tersebut diduga berasal dari situs China, yaitu killpp.cn, 07n9.cn dan heihei117.cn. Selain itu Google juga mendeteksi adanya domain qiqicc.cn yang berfungsi sebagai perantara penyebaran.

Ardhi Suryadhi - detikinet

Rasa sayange di klaim sebagai milik SINGAPURA,..

jawapos [ Rabu, 18 Juni 2008 ]

SD Singapura pun Klaim Rasa Sayange
Mainkan Angklung-Kulintang di SD YPPI-1

SURABAYA - Acara lawatan budaya Yishun Primary School Singapore (YPSS) ke SD YPPI-1 Surabaya kemarin (17/6) penuh keakraban. Siswa kedua sekolah berbaur dalam aneka permainan anak-anak. Mereka juga bermain musik bareng dengan mengolaborasikan alunan suara anglung dan kulintang.

Rombongan YPSS terdiri atas 51 siswa dan 9 guru dipimpin kepala sekolah Chan Kwai Foong. Selain berkunjung ke SD YPPI-1, mereka juga memenuhi undangan untuk tampil dalam pembukaan Surabaya Full Music 2008 di Taman Budaya Jawa Timur, malam nanti.

Permainan angklung dan kulintang siswa-siswi kelas VI YPSS itu membuat kawan-kawannya di SD YPPI-1 terperangah. Sebab, anak-anak dari negara tetangga tersebut ternyata cukup piawai memainkan alat musik tradisional Indonesia itu.

Grup musik YPSS adalah juara pertama Singapore Youth Festival 2008 untuk penampilan musik tradisional. Di sekolah itu, musik angklung, kulintang, dan gamelan menjadi kegiatan ekstrakurikuler.

Menurut Kepala Sekolah YPSS Chan Kwai Foong, tiga musik tradisional Indonesia itu masuk kegiatan ekstra di sekolahnya karena untuk mengakomodasi keragaman etnis siswa-siswinya. ''Di sekolah kami banyak murid Melayu. Karena itu, kami perlu menyediakan kegiatan ekstra musik angklung, kulintang dan gamelan itu,'' ujarnya.

Yang mengangetkan, saat anak-anak Singapura itu tampil, seorang gurunya memberi pengantar bahwa lagu Rasa Sayange yang akan mereka mainkan adalah lagu Singapura. ''Rasa Sayange is a song from Singapore,'' ujar Kuek Ai Hsiang, guru tersebut.

Mendengar klaim itu, beberapa guru SD YPPI-1 tersentak, tapi tak protes. Mereka tidak ingin merusak suasana akrab yang sudah terbangun. ''Lho, kok bisa-bisanya mereka mengklaim lagu Rasa Sayange miliknya,'' ujar seorang guru SD YPPI-1.

Sebelum diklaim sekolah Singapura itu, lagu Rasa Sayange pernah diakui sebagai lagu milik Malaysia. Padahal, lagu tersebut merupakan lagu daerah masyarakat Maluku.

Kunjungan siswa-siswi YPSS ke YPPI-1 juga dimaksudkan sebagai studi banding. Mereka ingin melihat secara langsung permainan tradisional dan budaya Indonesia. YPPI-1 dipilih karena sekolah ini memasukkan seni tradisional dalam kurikulum. Selain itu, murid-murid YPPI-1 bisa berbahasa Inggris sehingga dapat berkomunikasi aktif dengan siswa-siswi YPSS.

Di samping main musik, siswa-siswi Yishun juga diajak bermain balapan congklak (bakiak), lomba makan kerupuk, dan main dakon.

''Ini sangat menyenangkan. Pemandangan di sini juga sangat menarik,'' Syamera, salah seorang murid Yishun.

Begitu tertariknya mereka dengan lomba congklak, pihak Yishun langsung memintanya sebagai oleh-oleh. (sha/ari)

Contoh salah satu acara TV gak bermutu...

waktu itu aku gak sengaja liat acara di TV
maklum aku jarang nonton acara2 kaya gitu,
gak berguna sih,..mending aku liat berita dan informasi aja
hehehehehe...
ceritanya ada seorang cewek (inisial c),dia udah punya cowok(inisial D),eh matanya jelalatan waktu liat tuh cowok cakep banget(inisial A) dan ingin pacaran sama dia si A,.dengan mulut buaya si A sok jual mahal dengan si C,tapi si C gak nyerah juga,hingga akhirnya si A mau aja,lah kucing di kasih pindang,gratis lagi tanpa beli dan kejar2an sama si pemilik pindang,
hohohohohohohohoho.
akhir cerita si A mau aja pacaran sama si C,
tapi dengan syarat si C harus putusin si D,
padahal si D orangnya setia dan pengertian,
ya udah si D akhirnya diputus dan jadian sama si A,
eh lama2 si A bosen juga sama si C dan akhirnya si A selingkuh,
sampe di laporin ke acara playboy kabel di salah satu stasiun TV swasta,
hehehe pasti banyak yg tau deh,ketangkep deh belangnya si A,
tp yg aku permasalahkan si D.
dia jadi korban playgirl cap LUBANG BUAYA.
tuh siapa yg paling sakit hati,
si D atau si C..
jadi jgn salah menilai seorang cowok,
gak semua cowok itu seperti yg ada dalam acara playboy kabel.
akhir cerita si C nyesel putusin si D.
tapi si D udah gak mau balikan lagi karena udah tau tabiat si C.
kapok tuh si C.
pacaran aja milih2,
nyesel gak kamu...

Download lagu :
Dewa 19 - kirana Download
Jikustik - puisi Download

Keledai yg sabar(ambil hikmah dari semua kejadian yg kamu hadapi)

Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam sementara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya, si petani memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup – karena berbahaya), jadi tidak berguna untuk menolong si keledai. Dan ia mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.

Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian . Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke dalam sumur. Si petani melihat ke dalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya.

Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu.

Sementara tetangga2 si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, si keledai terus juga menguncangkan badannya dan melangkah naik. Segera saja, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri !

Kehidupan terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepadamu, segala macam tanah dan kotoran. Cara untuk keluar dari “sumur” (kesedihan, masalah, dsb) adalah dengan menguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran dan hati kita) dan melangkah naik dari “ sumur” dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.

Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita dapat keluar dari “sumur” yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah !

berita selengkapnya
jawapos Minggu, 15 Juni 2008

DEWI



Tentang Dewi



setelah memandang mentari pagi yg tersenyum
menatap dewi yg sedang ceria

bunga yg sudah lama tertanam di dalam hati
ntah itu buat siapa???
tapi,
skrg tlah kutemukan siapa pemilik dari bunga itu

dan,.

mentari akan slalu tersenyum walaupun bibir ini enggan tuk tersenyum
hati ini akan slalu merasakan kehadiranMu
walaupun tiada ragaMu di hadapanKu


mulut seperti terkunci
hati ingin teriak


kunci saja bibir kita agar tiada kata² yang diucap
sebab perasaan kasih sayang hanya ada didalam Hati
tanpa membuktikan dengan untaian kata dan mungkin sajak² indah

bebaskan hati kita berbicara
bebaskan hati kita mencurahkan kata

kata yg lama mungkin terpendam
sekaranglah saatnya 2 hati kan bertemu dan berkata-kata

perasaan yang dipendam akan menjadi penyakit hati yang indah bila di bongkar endapannya

lakukan yang terbaik Detik ini karna yang dilakukan detik ini adalah menjawab yang akan kita lakukan di detik-detik selanjutnya
tidak ada kata tidak mampu bagi seorang jejaka yang sedang mencari jati diri

writen by : dewi-bagoes
12/06/08

artikel tentang Chairil Anwar

Chairil Anwar
Legenda Sastra
yang Disalahpahami



Chairil Anwar adalah legenda sastra yang hidup di batin masyarakat
Indonesia. Ia menjadi ilham bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya.

Namun siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini adalah juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi?

Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief
Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara.

"Di Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang
jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak.

Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ," begitu Asrul Sani pernah
bercerita.

"Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu."

Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara
buku-buku agama. Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis betul dengan kitab Injil. "Sementara Chairil
mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko," kata Asrul. "Hati saya deg-degan setengah mati.

Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan
tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah
ambil aku!' sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali."

Chairil Anwar memang seorang "penggila" buku, yang dengan rakus
melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi.

Tapi dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak
punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah
lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah "ciri-ciri" seniman pada
dirinya.

Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, politikus, atau lainnya, ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi.

Tak Terurus. Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun
1943. H.B. Jassin punya cerita. "Suatu hari di tahun 1943," tuturnya,
"Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya.

Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru' (sajak Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat."

Sejak itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan
(Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi.

Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).

Bukan secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil memiliki
nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus pencarian filosofis.

Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian, berfilsafat menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, dan apa saja.

Salah Kaprah. Buat kita sekarang, sosok Chairil sudah lekat dengan citra
kepenyairan Indonesia. Sejumlah larik puisi dari penyair kita ini telah menjadi semacam pepatah atau kata-kata mutiara yang hidup di kalangan
masyarakat:

"Aku ini binatang jalang", "Hidup hanya menunda kekalahan",
"Aku mau hidup seribu tahun lagi", dan masih banyak lagi. Atau bertanyalah pada siswa SLTP dan SLTA siapa penyair kondang Indonesia, niscaya mereka akan menyebut namanya, lengkap dengan beberapa judul syairnya.

Tapi mungkin tidak banyak yang tahu, ada yang salah dalam persepsi kita
mengenai tokoh yang satu ini. Ada yang salah kaprah. Sebagai ilustrasi, sajak "Aku" lebih sering dipahami banyak orang sebagai sajak pemberontakan terhadap penjajahan. Padahal tidak. Kata Asrul Sani, sajak itu sebenarnya tidak lebih dari "teriakan putus asa dan rasa getir", termasuk penolakan terhadap sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, yaitu ayahnya.

Sajak "Diponegoro" juga sering dikira sajak perjuangan.
Padahal, seperti pernah diulas Arief Budiman, sajak itu adalah cerminan dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas.

Ia menulis puisi pertamanya, "Nisan", pada Oktober 1942, ketika ia berusia 20 tahun, ketika teknik persajakan belum dikuasainya benar. Para
pengamat sastra menganggap sajak ini sebagai sajak tertuanya. Padahal, menurut H.B. Jassin, sebelum "Nisan" Chairil sudah lebih dulu membuat sajak-sajak corak Pujangga Baru, tapi karena tidak memuaskannya lalu dia buang.

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.

Sajak "Nisan" ini, yang didedikasikan untuk neneknya yang baru meninggal, merupakan renungan Chairil tentang kematian, yang di matanya teramat misterius, namun tak terhindarkan oleh siapa pun.

Renungannya ini lalu menghantarkan ia pada pertanyan eksistensial: "Bila manusia mati, lantas apa gunanya segala usaha yang dilakukan dalam hidup ini?"

Pertanyaan filosofis itu terus mengejarnya, sementara kehidupan sendiri
tidak pernah memberinya jawaban yang memuaskan. Maka bukan hal yang aneh, di saat batin kemanusiaannya begitu merindukan semangat menghadapi hidup yang absurd dengan gagah berani, tiba-tiba Chairil mendapati sosok legendaris Pangeran Diponegoro sebagai perwujudan yang konkret dari kegairahannya mempertahankan hidup.

Inilah agaknya yang lalu mengilhaminya menulis sajak "Diponegoro", pada Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian, sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang akhir hayatnya lebih sublim dan intens.

Di samping teknik persajakan telah dikuasainya benar sehingga sajak-sajaknya terasa jernih, penghayatannya terhadap kehidupan (dan kematian) yang menjadi subjek puisi-puisinya juga telah mencapai klimaks kematangan sebagai seorang penyair.

Sajak pertama yang ditulis Chairil pada 1949 (tahun kematiannya)
adalah "Chairil Muda, Mirat Muda", dengan tambahan judul kecil
"Di Pegunungan 1943".

Sajak ini merupakan kenangan Chairil terhadap saat-saat yang paling
membahagiakan dalam hidupnya--sebuah perasaan yang wajar timbul pada orang-orang yang menyongsong kematian. Di akhir sajak tersebut ia
sempat menulis kata mati. Namun berbeda dengan sajak-sajaknya yang ditulis pada 1942, di mana kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan perhatian yang penuh, di sajak ini kematian diucapkannya dengan cara yang ringan saja.

Agaknya kematian bukan lagi sesuatu yang menjadi objek obsesinya, melainkan sebagai kenyataan yang sederhana, sama sederhananya dengan udara di muka bumi.

Dalam sajaknya "Yang Terampas dan yang Putus", juga ditulis pada 1949, Chairil malah secara jelas menulis kesiapannya untuk menghadapi
kematian. Ia tiba-tiba menyadari bahwa impuls-impuls kehidupan tidak pernah sepenuhnya diam.

Demikian pula dalam sajak "Derai-Derai Cemara", yang ia tulis sesudahnya. Dalam sajak yang ia tulis setelah percakapan yang panjang dengan dua sahabatnya, Rivai Apin dan Asrul Sani, Chairil kembali menegaskan bahwa kehidupan adalah sebingkai misteri yang tidak bisa kita temui artinya, tapi pada saat yang sama kita memiliki impuls untuk mempertahankannya.

Kita hidup, menurut Chairil, untuk sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya. Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah karena kita sedang mencari maknanya.

Namun misteri tetaplah sebuah misteri, ia tidak pernah akan bisa
terpecahkan. Karenanya mencari makna kehidupan adalah sesuatu yang sia-sia, meski harus terus dilakukan. Maka bagi Chairil, "hidup hanya
menunda kekalahan/ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah".

Penyair Terbesar. Chairil memiliki simpati yang sangat besar terhadap
upaya meraih kemerdekaan manusia, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Pada 1948, sebagai bukti perhatiannya pada situasi sosial-politik waktu itu, ia menulis sajak
"Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish.

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Syahrir.

Pada tahun yang sama, ia menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Belakangan, sajak Chairil yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak dipahami orang sebagai sajak perjuangan. Padahal, sajak-sajak ini adalah
jenis sajak individu, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
perjuangan kemerdekaan karena ditulis pada 1943. Namun dalam sajak "Aku" misalnya, di mana Chairil mengintroduksi dirinya sebagai "Aku binatang jalang", ia bisa menjelmakan kata hati rakyat Indonesia yang ingin bebas.

Dalam analisis Agus R. Sardjono, penyair terkemuka Bandung, sajak-sajak seperti "Krawang-Bekasi", "Persetujuan dengan Bung
Karno", "Aku", dan "Diponegoro" inilah yang justru di kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.

Hal itu dimungkinkan karena sajak-sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk menyebut jenis sajak-sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial), dan biasanya dibaca dengan suara keras atau menyeru-nyeru, serta
dengan tangan terkepal.

Masih menurut Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu populer seperti sekarang bila dia hanya menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar, sajak-sajak yang kontemplatif dan personal. Betapapun tingginya mutu sajak "Derai-Derai Cemara", "Senja di Pelabuhan Kecil", atau "Yang terampas dan yang Putus" secara kesusastraan, namun sajak-sajak demikian sama sekali tidak memiliki peluang untuk diapresiasi secara massal.

Namun, dengan segala ketidaksempurnaannya, keberhasilan terbesar
Chairil bagi dunia persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia
pada umumnya, adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari aturan-aturan lama (ejaan van Ophusyen) yang waktu itu cukup mengekang, menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna.

Kebebasan bahasa itu teramat penting. Terbukti Malasyia, negara yang
menggunakan bahasa Melayu, yang serumpun dengan bahasa Indonesia (tapi tidak pernah memiliki penyair sekaliber Chairil) dalam hal bahasa jauh tertinggal dari bangsa kita. Kebebasan bahasa itu adalah prestasi besar bangsa Indonesia.

Dengan itu kita dapat mengutarakan apa saja langsung dari lubuk hati
kita. Dan, seperti diamini banyak sastrawan kita, berkah itu adalah warisan Chairil Anwar, penyair terbesar yang pernah kita miliki.

Mengembara di Negeri Asing

Chairil Anwar tampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi penyair yang disalahpahami. Tapi ia terbilang beruntung karena ia disalahpahami ke arah yang positif. Begitupun dalam hal religiusitas. Tidak sedikit orang yang menjulukinya penyair religius. Ini, antara lain, gara-gara sajak "Doa",
yang memang amat religius.

Tak jarang, dalam peringatan hari-hari besar agama Islam (juga Kristen), sajak tersebut dibaca dan memperoleh apresiasi yang luas. Benarkah ia penyair religius? Menurut penuturan Ida Rosihan Anwar (istri wartawan kawakan Rosihan Anwar yang sangat dekat dengan Chairil) dalam
kesehariannya Chairil tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Ia tidak pernah tampak salat, berpuasa di bulan Ramadan, atau bahkan ikut bergembira pada Idul Fitri. Jadi, ia bukan muslim yang baik.

Namun, kalau kita mengacu pada kriteria filosof Paul Tillich tentang siapa
yang disebut religius, (yaitu mereka yang secara serius mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari batas-batas yang lahiriah saja), Chairil
termasuk kelompok ini.

Konklusi ini semata-mata bersandar pada penyerahan total Chairil untuk
menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup saya", dalam sepanjang masa
hidupnya.

Dan karena agama bagi banyak orang di dunia ini dianggap sebagai
jawaban pertanyaan "apa tujuan hidup saya?", Chairil tidak luput
membicarakan agama dalam beberapa sajaknya. Sajak "Di Masjid", yang
ditulisnya pada 29 Mei 1943, adalah sajak pertama mengenai hal ini.

Dalam sajaknya ini ia menegaskan sikapnya yang tidak mau terikat
apa pun juga, serta bersedia menerima segala bentuk penderitaan sebagai akibat pilihannya. Dia menolak untuk menyerah kepada agama, meskipun dia mengakui juga, agama mempunyai daya tarik yang sangat kuat sehingga sulit untuk melawannya: "Kuseru saja Dia/sehingga datang juga/Kamipun bermuka-muka/seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkannya/Ini ruang/gelanggang kami berperang/Binasa membinasa/satu menista lain gila.

Sajaknya yang kedua tentang agama ditulis lima bulan kemudian, berjudul
"Isa". Dalam sajak ini, selain terpesona, Chairil juga tersindir dengan pengorbanan dan penderitaan yang dialami Nabi Isa untuk menyelamatkan umat manusia.

Ia merasa "minder" lantaran sikap hidupnya yang hanya memikirkan
kemerdekaan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Ia seperti dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah sebuah pengorbanan ada artinya?"

Pertanyaan itu terus mengganggu hingga keesokan harinya dia menyerah
dan menulis sajak "Doa" sebagai ekspresi penyerahdiriannya kepada Tuhan. Ia berseru: Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh/caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di malam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/ Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintu-Mu mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.

Dalam sajak ini Chairil memang tidak menjelaskan apa alasan ia "menyerah", namun yang pasti ia merasa hilang bentuk dan remuk ketika dia berjalan tanpa Tuhan.

Apakah dengan sajak ini Chairil telah "menemukan kembali" Tuhan?
Jawaban sementara: "ya". Agaknya bila Chairil tiba pada suatu titik kehidupan di mana dia mengambil suatu sikap secara lebih utuh, maka perasaan tenang datang meneduhinya.

Pada Februari 1947, dalam suasana yang sudah berbeda, Chairil
kembali menulis sajak tentang agama, yang berjudul "Sorga". Di sini,
dengan semangat eksistensialismenya yang kental, ia menggugat surga beserta gambarannya yang dijanjikan agama. Selanjutnya Chairil lebih memilih menolak agama karena agama memintanya untuk mengorbankan apa yang nyata sekarang, untuk digantikan sesuatu pada masa datang yang baginya belum pasti.

Maka bisa dipastikan, sesudah sikapnya ini Chairil kembali menemukan
dirinya kesepian. Namun, perasaan itu tampaknya sudah dia harapkan
dan dia hadapi dengan tenang. Ia kembali memilih menjadi pengembara selama hidupnya.

Meskipun, konon menurut kesaksian H.B. Jassin, menjelang mengembuskan nafasnya yang terakhir, Chairil ternyata tetap tidak lupa menyebut nama Tuhan.

Di sela-sela panas badannya yang tinggi sebelum kematiannya, ia mengucap, Tuhanku, Tuhanku....


Gadis-Gadis Pun Memujanya


Teman dekat Chairil Anwar semasa kecil, Sjamsulridwan, pernah menulis di majalah Mimbar Indonesia, edisi Maret-April 1966. Katanya, salah satu sikap Chairil yang menonjol sejak kecil adalah sifatnya yang pantang kalah.

"Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam."

Chairil dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922.
Ayahnya, Toeloes, berasal dari Payakumbuh (Sumatera Barat). Dia menjadi Pamongpraja di Medan, dan pada zaman revolusi sempat menjadi bupati Indragiri, Karesidenan Riau. Sedang ibunya, Saleha, berasal dari Koto Gadang (Sumatera Barat) dan masih mempunyai pertalian keluarga dengan ayah Sutan Syahrir (tokoh PSI).

Menurut Sjamsulridwan, meski cukup terpandang dan disegani masyarakat sekitarnya, kehidupan kedua orangtua Chairil senantiasa ribut. Mereka sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah.

Hanya dalam satu hal mereka sama: dua-duanya sangat memanjakan Chairil. Segala keinginannya: mainan-mainan terbaru dan terbaik. Mereka pun selalu membenarkan sikap Chairil. Kalau ia berkelahi, ayahnya senantiasa membela. Bahkan kalau perlu ikut berkelahi.

Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh
percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang tajam
dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya.

Di kalangan gadis-gadis, Chairil juga disukai karena wajahnya yang tampan dan menyerupai orang indo.

Demikianlah, semua orang seolah memanjakannya. Keuangannya tidak
pernah kurang. Sepedanya termasuk golongan yang paling baik, di zaman
ketika mempunyai sepeda saja merupakan suatu kebanggaan. Dan ada sisi baik yang bisa dicatat dari gaya pergaulan Chairil, yaitu sikapnya tidak pernah sombong.

Meskipun dia angkuh dan selalu merasa hebat, dia selalu mudah sekali berkenalan dengan siapa saja, tanpa pernah membedakan status sosial, status ekonomi, dan intelektualitas.

Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di Medan.
Di HIS (setingkat SD) saja ia sudah menampakkan bakatnya sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP).

Ketika usia Chairil menginjak 19 tahun, dan duduk di kelas dua, ayahnya kawin lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena mulai membenci ayahnya dan menginginkan kehidupan yang lain, ia memilih hijrah ke Batavia (Jakarta), dan meneruskan pendidikannya di sana.

Tak lama kemudian ibunya menyusul ke Jakarta. Perang Dunia II dan
masuknya Jepang telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun
terbelit masalah keuangan setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya.

Akhirnya ia putus sekolah. Saat putus sekolah itu Chairil mengisi hidupnya dengan menggelandang ke sana-ke mari, dan membaca buku sebanyak-banyaknya. Sebagai orang yang menguasai tiga bahasa (Inggris, Belanda, dan Jerman), ia tidak mendapat halangan apa pun untuk bisa membaca dan memahami semua karya sastra asing yang ia jumpai.

Penguasaan bahasa asing yang baik inilah yang banyak menolong Chairil
sehingga banyak buku yang belum dibaca seniman lain, ia sudah tahu isinya. Ia pun banyak menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra dunia itu ke bahasa Indonesia dengan baik.

Masih soal membaca, menurut Sjamsulridwan, ketika masih di MULO,
Chairil telah bergaul dengan anak-anak HBS (setingkat SMA) tanpa rendah diri.

"Semua buku mereka aku baca," kata Chairil suatu hari. Di sini yang dimaksud Chairil adalah buku-buku mengenai pelajaran abstrak, seperti sastra, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Dan ucapan itu semata-mata untuk menunjukkan bahwa ia tidak pernah kurang dari mereka (anak-anak HBS).

Selama di Jakarta, Chairil juga mengembangkan pengetahuannya dengan meminjam buku dari pamannya, Sutan Sjahrir. Menurut H.B. Jassin, kalu sudah membaca buku, maka buku itu akan dibacanya dari malam sampai menjelang pagi.

Meskipun menganut pola kehidupan yang bohemian, Chairil akhirnya
sempat juga berkeluarga. Ia menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6
Agustus 1946. Sayangnya rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Akhir 1948 mereka bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa, dibesarkan Hapsah.

Tanggal 28 April 1949, setelah sempat diopname selama lima hari di CBZ (sekarang RSCM) karena penyakit TBC yang dideritanya, Chairil
mengembuskan nafas terakhir.

Ia meninggalkan warisan karya yang tidak begitu banyak, yaitu 70
puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4
prosa terjemahan. Kepada Evawani, putrinya yang masih berumur satu tahun, Chairil bahkan hanya mewariskan sebuah radio kecil, berbentuk kotak warna hitam, bermerek Philips. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu bait puisinya: "di karet, di karet sampai juga/deru angin", Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet pada hari berikutnya.



- dari SUARA MERDEKA , Jumat, 14 Mei 1999

Puisi-puisi Cinta Chairil anwar

Buat Gadis Rasid

Antara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyembur
………………..

Kita terapit, cintaku
—-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—-
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
—-the only possible non-stop flight
tidak mendapat

………..kita berbaring bulat telanjang
sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang
………..
Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
Mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di baalik rupa
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
Masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana……..

Saat Chairil mengalami patah hati, ia pun berubah menjadi sosok sendu yang sentimentil. Seperti yang tergambar dalam puisinya ”Senja di Pelabuhan Kecil” berikut ini:

Senja di Pelabuhan Kecil
(buat Sri Aryati)

Ini kali tiada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyusur semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda paling liar, pacu laju
Jangan tambatkan pada siang dan malam


Lagu Biasa

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
………..
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai Ave Maria
Kuseret ia ke sana…….

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah di kini, bisa katakan
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwa saling berganti. Dia
Rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.



Sajak Putih
Buat tunanganku Mirat

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagimu menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah……
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kecuplah aku terus, kecuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku….***

Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi.

About chiril anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, sastrawan yang oleh H.B. Jassin dinobatkan sebagai Pelopor angkatan 45 dalam puisi itu, mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946). Kumpulan puisi penyair yang pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana ini adalah Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Derai-derai Cemara (1998). Karya-karya terjemahannya: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948; Andre Gide), Kena Gempur (1951; John Steinbeck). Penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dilakukan Burton Raffel, Chairil Anwar: Selected Poems (New York: 1963) dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (New York: 1970), Liaw Yock-Fang (Singapura: 1974), Walter Karwath, Feur und Asche (Wina: 1978). Karya-karya studi tentang Chairil Anwar antara lain dilakukan oleh: S.U.S. Nababan, A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar (New York: 1976), Boen S. Oemarjati, Chairil Anwar: the Poet and His Language (Den Haag: 1972).